Crimson Peak

22 Shares Terhitung sudah nyaris satu dekade Guillermo del Toro tidak membuat sajian horor yang membesarkan namanya, terakhir ada dogeng gelap Pan’s Labyrinth 2006 silam. Ya, faktanya, del Toro terlibat dalam proyek-proyek horor macam The Orphanage, Splice, Julia’s Eyes, Don’t Be Afraid of the Dark sampai Mama, tetapi sangat disayangkan perannya hanya sebatas sebagai produser dan penulis naskah yang tentu saja punya ruang gerak terbatas dan pastinya hasilnya akan berbeda jika ia bersentuhan langsung dalam kendali sutradara, belum lagi proyek video game Silent Hills yang rencananya dikerjakannya bersama Hideo Kojima dibatalkan sepihak oleh pihak Konami.

Maka dari itu kemunculan Crimson Peak menjadi sebuah perayaan tersendiri buat para fans del Toro, terutama buat mereka pencinta horor yang merindukan sentuhan sang master gotik. Horor-horor terbaik bikinan del Toro biasanya tidak benar-benar murni horor, ada sub-tema lain yang mendasari narasi utamanya seperti konflik perang dalam The Devil’s Backbone dan Pan’s Labyrinth. tema religius dalam Cronos, pun begitu dengan Crimson Peak. del Toro menyebutnya sebagai “ghost story and gothic romance”, karena memang elemen romansa kental yang kemudian berperan penting dalam perjalanan narasinya.

Crimson Peak dibuka dengan kisah Edith Cushing (Mia Wasikowska) kecil, putri semata wayang pengusaha real estate sukses Carter Cushing (Jim Beaver) yang kedatangan arwah mengerikan ibunya tidak lama setelah kematiannya dan membisikan sebuah peringatan; “Beware of Crimson Peak.”, Peringatan misterius yang baru disadarinya ketika ia beranjak dewasa dan ketika semuanya sudah terlambat.

Dibandingkan horor-horor buatan del Toro lain, narasi yang ditawarkan Crimson Peak mungkin tidak teralu kuat meski sebenarnya juga tidak bisa dikatakan buruk. Kisah hantunya seperti hanya menjadi makanan pendamping buat romance-psikologisnya, twist-nya sedikit banyak sudah tercium dari jauh, dan untuk ukuran horor ia juga tidak sampai terlalu menakutkan memang dengan kemunculan hantu-hantu yang di dominasi CGI itu meski faktanya aura horor masih terpancar kental di sepanjang 119 menit durasinya.

Kudos buat penyutradaraan apik del Toro temasuk di dalamnya desain produksinya yang luar biasa cantik. Dari set, kostum sampai make-up semua berhasil dimaksimalkan dalam sentuhan gotik modern megah ala del Toro bersama visual indah DoP Dan Laustsen yang didominasi warna kuning keemasan di paruh pertama, sementara nuansa dingin dengan permainan warna kontras merah darah dan putih salju menguasai paruh keduanya yang sedikit banyak mengingatkan pada apa yang pernah disajikan Tarantino dalam ending Kill Bill vol.1.

Singkatnya, secara teknis sinematik del Toro sudah menjadikan Crimson Peak sebagai gelaran horor paling cantik tahun ini atau malah bisa jadi salah satu horor paling cantik sepanjang masa. Jajaran cast-nya di dominasi nama-nama kelas AAA dari Mia Wasikowska yang memainkan Edith Cushing, tidak teralu istimewa dan jelas bukan penampilan terbaik aktris asal Australia ini tetapi bisa dibilang cukup mewakili karakter polos Edith. Sementara Tom Hiddleston didapuk menjadi Sir Thomas Sharpe, pengusaha muda yang juga love interst Edith pun sebenarnya sama saja, namun sisi misterius dari naskahnya sedikit banyak memberi sentuhan menarik buat karakternya. Bisa dibilang adalah Jessica Chastain sebagai Lady Lucille Sharpe yang kemudian menjadi kejutan menyenangkan.

Tidak setiap hari kamu bisa melihat Chastain mengisi slot antagonis, dan harus diakui ia berhasil melakukannya dengan sangat baik. Ada kengerian dan kegetiran dalam karakter Lucille yang sejak awal sudah memberikan tatapan tidak nyaman, meski pada akhirnya motifnya dengan mudah diketahui, namun apa yang dilakukan Chastain dengan karakter Lucille Sharpe membuktikan bahwa Chastain bisa menjadi siapa saja.